Kamis, 04 Desember 2008

REFORMASI PENDIDIKAN MENUJU MASYARAKAT MADANI

Oleh. Dr. Diding Nurdin, M.Pd*

Dalam era reformasi ini masyarakat Indonesia menginginkan terwujudnya suatu masyarakat baru yakni “masyarakat madani”. Masyarakat baru yang mengharapkan terwujudnya kemajuan, kesejahteraan, kebahagiaan, keterbukaan, keadilan, saling menghormati dan menghargai, menegakkan hukum dengan adil, menghargai hak asasi manusia, modern dan ingin meninggalkan pola-pola kehidupan masyarakat KKN yang negatif.

Mewujudkan masyarakat seperti yang digambarkan di atas, menuntut suatu pendidikan yang sesuai. Pendidikan yang mampu membangun kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam membangun masyarakatnya sendiri. Pendidikan gaya lama yang menganggap peserta didik sebagai “wadah kosong” yang diisi semaunya oleh pendidik perlu diganti dengan sistem pendidikan yang dapat mengembangkan segenap potensi peserta didik atau yang oleh Tilaar (1999) dikatakan dengan sistem pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan rakyat (empowering of people).

Sistem pendidikan Indonesia memasuki mellenium ketiga diharapkan dapat membangun suatu masyarakat yang “baldatun toyyibatun warobbun gofur” (bangsa yang aman sejahtera ada dalam ampunan Allah) bagi seluruh penghuninya. Masyarakat yang ingin dibangun yakni masyarakat yang dikenal dengan istilah masyarakat madani (civil society).

Oleh sebab pendidikan merupakan bagian dari proses memasyarakatkan nilai-nilai dengan kebudayaannya yang konkrit, maka pembentukan masyarakat madani dengan sistem nilai ingin diwujudkan dengan tidak terlepas dari konfigurasi nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan umat manusia. Masalah ini bagi masyarakat dan bangsa Indonesia merupakan hal yang wajar dengan realitas kebhinekaan masyarakat dan budayanya. Masyarakat madani global akan tersusun dari masyarakat madani lokal dengan berdasarkan kebudayaannya masing-masing (Tilaar, 1999).

Masyarakat madani yang didambakan dan sedang diperjuangkan oleh kekuatan reforrmatif bangsa Indonesia, adalah suatu masyarakat yang bercirikan prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) demokrasi, sebagai ciri utama memiliki konsekuensi luas diantaranya adalah menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik, dengan organisasi-organisasi yang mandiri sehingga memungkinkan pengawasan aktif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan; (b) kepastian hukum, atau masyarakat yang diwarnai oleh rule of law bukan kekuasaan yang sangat dominan akan tetapi hukumlah yang perlu ditegakkan; (c) egalitarian, artinya suatu masyarakat yang memperjuangkan keadilan, memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat bukan hanya segelintir kelompok elit untuk maju dan berkembang; (d) penghargaan yang tinggi atas human dignity; (e) kemajemukan budaya dan bangsa dalam satu kesatuan, Indonesia merupakan suatu masyarakat yang multietnik sekaligus multicultural; dan (f) religius, yakni masyarakat sipil yang diinginkan bukan suatu masyarakat yang sekuler-materialistik tetapi etis-religius.

Dalam upaya menanamkan komitmen dengan tingkat kesejatian yang tinggi itu, perlu menengok kepada khazanah budaya kita, dalam hal ini budaya keagamaan Islam. Bukan suatu kebetulan bahwa wujud nyata masyarakat madani itu pertama kalinya dalam sejarah umat manusia merupakan usaha utusan Tuhan untuk akhir zaman, yakni Muhammad. Sesungguhnya Muhammad SAW di kota hijrah, yaitu Yasrib (Yunani: Yethroba), beliau ganti nama kota itu menjadi Madinah. Dengan tindakan itu, Nabi telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam membangun masyarakat madani, yaitu masyarakat yang berperadaban (ber-“madaniyah”) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Masyarakat madani pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang tak kenal hukum (lawless) Arab Jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seseorang penguasa.

Dasar-dasar masyarakat madani (beradab) yang diletakan Muhammad itu kemudian dikembangkan oleh para khalifah yang bijaksana (al-Khulafa’ al-Rasyidun), membentuk pemerintahan sistem kekhalifahan (khilafah).

Hasilnya ialah suatu tatanan sosial politik yang sangat maju dan modern. Bahkan Robert N. Bellah menyebutnya sangat modern untuk zaman dan tempatnya, sehingga segi-segi modernitas Madinah itu ialah tingkat yang tinggi dalam komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari seluruh anggota masyarakat, dan keterbukaan posisi kepemimpinannya terhadap ukuran kecakapan pribadi yang dinilai atas dasar pertimbangan yang bersifat universal dan dilambangkan dalam percobaan untuk melembagakan puncak kepemimpinan yang bersifat keturunan. Karena itu, menurut Bellah bahwa Madinah merupakan “suatu model untuk bangunan masyarakat madani, bukanlah suatu fabrikasi ideologis yang tidak historis.

Seperti yang telah dijelaskan, “civil society” disepadankan dengan “masyarakat Madani,” mengacu pada masyarakat demokratis di Madinah pada masa Nabi Muhammad yang diatur dalam Piagam Madinah.

Menurut Sukidi (1998) di dalam Piagam Madinah terdapat sepuluh prinsip dasar yaitu: (1) prinsip kebebasan beragama, (2) prinsip persaudaraan beragama, (3) prinsip persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama, (4) prinsip saling membantu yaitu setiap orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, (5) prinsip persamaan hak dan kewajiban warga Negara terhadap Negara, (6) prinsip persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara, (7) prinsip penegakkan hukum demi tegaknya keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu, (8) prinsip pemberlakuan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan kebenaran, (9) prinsip kedamaian dan keadilan. Hal ini berarti pelaksanaan prinsip-prinsip masyarakat Madinah tersebut tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran, dan (10) prinsip pengakuan hak atas setiap orang. Prinsip ini adalah pengakuan terhadap penghormatan atas hak asasi setiap manusia.

Paradigma Pendidikan dalam Membangun Masyarakat Madani Indonesia

Pendidikan sebagai bagian integral dalam proses pembangunan bangsa hendaknya dibangun atas paradigma pendidikan yang memiliki empat pilar, yaitu: Pertama, pendidikan untuk semua warga masyarakat. Cita-cita era reformasi tidak lain adalah membangun suatu masyarakat madani Indonesia. Oleh sebab itu paradigma baru pendidikan nasional diarahkan kepada terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut. Pendidikan bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sehingga pendidikan berperan dalam membangun masyarakat madani dan tumbuh atas kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi kelangsungan hidupnya. Pendidikan harus berlangsung dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk semua masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Tilaar (1999) bahwa pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan (needs) dari masyarakat sendiri. Jadi pendidikan bukan dituangkan dari pusat (sentralistik), tetapi pendidikan yang tumbuh dari masyarakat sendiri dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat bukan merupakan obyek pendidikan dari Negara atau sekelompok penguasa, tetapi partisipatif aktif dari masyarakat, di mana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program pendidikannya. Pendidikan bersama-sama masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan di dalam program-program pemerintah yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat karena lahir dari kebutuhan nyata dari masyarakat itu sendiri.

Kedua, pendidikan demokratis. Pendidikan yang dapat mengembangkan masyarakat madani adalah proses pendidikan yang mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didik. Pendidikan demokratis merupakan model pendidikan yang mengembangkan prinsip-prinsip demokratis yakni pendidikan yang menghargai perbedaan pendapat (the right to be different), kebebasan untuk mengaktualisasikan diri, kebebasan intelektual, kesempatan untuk bersaing di dalam perwujudan diri-sendiri (self realization), pendidikan yang membangun moral, pendidikan yang semakin mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya.

Ketiga, pendidikan yang bertumpu pada kebudayaan lokal. Bangsa Indonesia pada saat ini terancam dengan adanya disintegrasi bangsa. Hal ini sebagai akibat dari sistem pendidikan yang bersifat sentralistik yang telah lama diterapkan. Pendidikan sentralistik kurang mengakomodasi adanya kebudayaan kebhinekaan bangsa Indonesia dari sabang sampai meroke. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau, kebiasaan, adapt-istiadat, agama dan kebudayaan merupakan khazanah dalam mengembangkan sistem pendidikan. Unsur-unsur budaya lokal yang tersebar di bumi Indonesia ini dikaji dan dikembangkan sehingga dapat memberikan sumbangan bagi terwujudnya kebudayaan nasional.

Tugas pendidikan nasional ialah bukan hanya sekedar menghayati dan mengembangkan unsur-unsur kebudayaan lokal dan nasional tetapi ikut membangun kebudayaan nasional tersebut.

Pendidikan yang didasarkan pada kebudayaan menuntut pranata-pranata sosial untuk pendidikan seperti keluarga, sekolah, haruslah merupakan pusat-pusat penggalian dan pengembangan kebudayaan lokal dan nasional. Namun yang terjadi dalam pendidikan kita tidak lagi berfungsi sebagai pusat pengembangan kebudayaan, yang ada hanyalah diprioritaskan pada aspek intelektual, sedangkan aspek-aspek kebudayaan lainnya kurang terintegralistik.

Keempat, pendidikan yang seimbang antara IMTAQ dan IPTEK. Pendidikan harus dikonsepsikan sebagai aktualisasi sifat-sifat Allah pada manusia dan disusun sebagai suatu proses sepanjang hayat dan harus meliputi pengalaman-pengalaman yang berguna dari berbagai sumber baik itu pengetahuan, keterampilan atau sikap, di dalam dan di luar sekolah yang akan menjadikan peserta didik dapat memikul tugas dan tanggung jawabnya kepada Allah, dirinya sendiri, sesama manusia dan lingkungannya.

Pendidikan harus bertujuan membentuk kepribadian seimbang dikalangan peserta didik melalui latihan rohani (spiritual), intelektual, emosional dan jasmani dengan menunjukkan peserta didik itu kepada berbagai pengalaman pada aspek-aspek pertumbuhan dan perkembangan. Dengan demikian kurikulum harus berdasarkan pada klasifikasi ilmu pengetahuan yakni ilmu-ilmu wahyu (al-Quran) dan ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal dari ayat-ayat kauniyah (alam jagad raya berserta seluruh isinya).

* Penulis adalah dosen FIP dan PascaSarjana UPI. Bidang Keahlian Manajemen dan Administrasi Pendidikan

Tidak ada komentar: