Karya Ilmiah

Kamis, 04 Desember 2008

REFORMASI PENDIDIKAN MENUJU MASYARAKAT MADANI

Oleh. Dr. Diding Nurdin, M.Pd*

Dalam era reformasi ini masyarakat Indonesia menginginkan terwujudnya suatu masyarakat baru yakni “masyarakat madani”. Masyarakat baru yang mengharapkan terwujudnya kemajuan, kesejahteraan, kebahagiaan, keterbukaan, keadilan, saling menghormati dan menghargai, menegakkan hukum dengan adil, menghargai hak asasi manusia, modern dan ingin meninggalkan pola-pola kehidupan masyarakat KKN yang negatif.

Mewujudkan masyarakat seperti yang digambarkan di atas, menuntut suatu pendidikan yang sesuai. Pendidikan yang mampu membangun kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam membangun masyarakatnya sendiri. Pendidikan gaya lama yang menganggap peserta didik sebagai “wadah kosong” yang diisi semaunya oleh pendidik perlu diganti dengan sistem pendidikan yang dapat mengembangkan segenap potensi peserta didik atau yang oleh Tilaar (1999) dikatakan dengan sistem pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan rakyat (empowering of people).

Sistem pendidikan Indonesia memasuki mellenium ketiga diharapkan dapat membangun suatu masyarakat yang “baldatun toyyibatun warobbun gofur” (bangsa yang aman sejahtera ada dalam ampunan Allah) bagi seluruh penghuninya. Masyarakat yang ingin dibangun yakni masyarakat yang dikenal dengan istilah masyarakat madani (civil society).

Oleh sebab pendidikan merupakan bagian dari proses memasyarakatkan nilai-nilai dengan kebudayaannya yang konkrit, maka pembentukan masyarakat madani dengan sistem nilai ingin diwujudkan dengan tidak terlepas dari konfigurasi nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan umat manusia. Masalah ini bagi masyarakat dan bangsa Indonesia merupakan hal yang wajar dengan realitas kebhinekaan masyarakat dan budayanya. Masyarakat madani global akan tersusun dari masyarakat madani lokal dengan berdasarkan kebudayaannya masing-masing (Tilaar, 1999).

Masyarakat madani yang didambakan dan sedang diperjuangkan oleh kekuatan reforrmatif bangsa Indonesia, adalah suatu masyarakat yang bercirikan prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) demokrasi, sebagai ciri utama memiliki konsekuensi luas diantaranya adalah menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik, dengan organisasi-organisasi yang mandiri sehingga memungkinkan pengawasan aktif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan; (b) kepastian hukum, atau masyarakat yang diwarnai oleh rule of law bukan kekuasaan yang sangat dominan akan tetapi hukumlah yang perlu ditegakkan; (c) egalitarian, artinya suatu masyarakat yang memperjuangkan keadilan, memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat bukan hanya segelintir kelompok elit untuk maju dan berkembang; (d) penghargaan yang tinggi atas human dignity; (e) kemajemukan budaya dan bangsa dalam satu kesatuan, Indonesia merupakan suatu masyarakat yang multietnik sekaligus multicultural; dan (f) religius, yakni masyarakat sipil yang diinginkan bukan suatu masyarakat yang sekuler-materialistik tetapi etis-religius.

Dalam upaya menanamkan komitmen dengan tingkat kesejatian yang tinggi itu, perlu menengok kepada khazanah budaya kita, dalam hal ini budaya keagamaan Islam. Bukan suatu kebetulan bahwa wujud nyata masyarakat madani itu pertama kalinya dalam sejarah umat manusia merupakan usaha utusan Tuhan untuk akhir zaman, yakni Muhammad. Sesungguhnya Muhammad SAW di kota hijrah, yaitu Yasrib (Yunani: Yethroba), beliau ganti nama kota itu menjadi Madinah. Dengan tindakan itu, Nabi telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam membangun masyarakat madani, yaitu masyarakat yang berperadaban (ber-“madaniyah”) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Masyarakat madani pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang tak kenal hukum (lawless) Arab Jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seseorang penguasa.

Dasar-dasar masyarakat madani (beradab) yang diletakan Muhammad itu kemudian dikembangkan oleh para khalifah yang bijaksana (al-Khulafa’ al-Rasyidun), membentuk pemerintahan sistem kekhalifahan (khilafah).

Hasilnya ialah suatu tatanan sosial politik yang sangat maju dan modern. Bahkan Robert N. Bellah menyebutnya sangat modern untuk zaman dan tempatnya, sehingga segi-segi modernitas Madinah itu ialah tingkat yang tinggi dalam komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari seluruh anggota masyarakat, dan keterbukaan posisi kepemimpinannya terhadap ukuran kecakapan pribadi yang dinilai atas dasar pertimbangan yang bersifat universal dan dilambangkan dalam percobaan untuk melembagakan puncak kepemimpinan yang bersifat keturunan. Karena itu, menurut Bellah bahwa Madinah merupakan “suatu model untuk bangunan masyarakat madani, bukanlah suatu fabrikasi ideologis yang tidak historis.

Seperti yang telah dijelaskan, “civil society” disepadankan dengan “masyarakat Madani,” mengacu pada masyarakat demokratis di Madinah pada masa Nabi Muhammad yang diatur dalam Piagam Madinah.

Menurut Sukidi (1998) di dalam Piagam Madinah terdapat sepuluh prinsip dasar yaitu: (1) prinsip kebebasan beragama, (2) prinsip persaudaraan beragama, (3) prinsip persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama, (4) prinsip saling membantu yaitu setiap orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, (5) prinsip persamaan hak dan kewajiban warga Negara terhadap Negara, (6) prinsip persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara, (7) prinsip penegakkan hukum demi tegaknya keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu, (8) prinsip pemberlakuan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan kebenaran, (9) prinsip kedamaian dan keadilan. Hal ini berarti pelaksanaan prinsip-prinsip masyarakat Madinah tersebut tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran, dan (10) prinsip pengakuan hak atas setiap orang. Prinsip ini adalah pengakuan terhadap penghormatan atas hak asasi setiap manusia.

Paradigma Pendidikan dalam Membangun Masyarakat Madani Indonesia

Pendidikan sebagai bagian integral dalam proses pembangunan bangsa hendaknya dibangun atas paradigma pendidikan yang memiliki empat pilar, yaitu: Pertama, pendidikan untuk semua warga masyarakat. Cita-cita era reformasi tidak lain adalah membangun suatu masyarakat madani Indonesia. Oleh sebab itu paradigma baru pendidikan nasional diarahkan kepada terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut. Pendidikan bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sehingga pendidikan berperan dalam membangun masyarakat madani dan tumbuh atas kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi kelangsungan hidupnya. Pendidikan harus berlangsung dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk semua masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Tilaar (1999) bahwa pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan (needs) dari masyarakat sendiri. Jadi pendidikan bukan dituangkan dari pusat (sentralistik), tetapi pendidikan yang tumbuh dari masyarakat sendiri dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat bukan merupakan obyek pendidikan dari Negara atau sekelompok penguasa, tetapi partisipatif aktif dari masyarakat, di mana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program pendidikannya. Pendidikan bersama-sama masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan di dalam program-program pemerintah yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat karena lahir dari kebutuhan nyata dari masyarakat itu sendiri.

Kedua, pendidikan demokratis. Pendidikan yang dapat mengembangkan masyarakat madani adalah proses pendidikan yang mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didik. Pendidikan demokratis merupakan model pendidikan yang mengembangkan prinsip-prinsip demokratis yakni pendidikan yang menghargai perbedaan pendapat (the right to be different), kebebasan untuk mengaktualisasikan diri, kebebasan intelektual, kesempatan untuk bersaing di dalam perwujudan diri-sendiri (self realization), pendidikan yang membangun moral, pendidikan yang semakin mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya.

Ketiga, pendidikan yang bertumpu pada kebudayaan lokal. Bangsa Indonesia pada saat ini terancam dengan adanya disintegrasi bangsa. Hal ini sebagai akibat dari sistem pendidikan yang bersifat sentralistik yang telah lama diterapkan. Pendidikan sentralistik kurang mengakomodasi adanya kebudayaan kebhinekaan bangsa Indonesia dari sabang sampai meroke. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau, kebiasaan, adapt-istiadat, agama dan kebudayaan merupakan khazanah dalam mengembangkan sistem pendidikan. Unsur-unsur budaya lokal yang tersebar di bumi Indonesia ini dikaji dan dikembangkan sehingga dapat memberikan sumbangan bagi terwujudnya kebudayaan nasional.

Tugas pendidikan nasional ialah bukan hanya sekedar menghayati dan mengembangkan unsur-unsur kebudayaan lokal dan nasional tetapi ikut membangun kebudayaan nasional tersebut.

Pendidikan yang didasarkan pada kebudayaan menuntut pranata-pranata sosial untuk pendidikan seperti keluarga, sekolah, haruslah merupakan pusat-pusat penggalian dan pengembangan kebudayaan lokal dan nasional. Namun yang terjadi dalam pendidikan kita tidak lagi berfungsi sebagai pusat pengembangan kebudayaan, yang ada hanyalah diprioritaskan pada aspek intelektual, sedangkan aspek-aspek kebudayaan lainnya kurang terintegralistik.

Keempat, pendidikan yang seimbang antara IMTAQ dan IPTEK. Pendidikan harus dikonsepsikan sebagai aktualisasi sifat-sifat Allah pada manusia dan disusun sebagai suatu proses sepanjang hayat dan harus meliputi pengalaman-pengalaman yang berguna dari berbagai sumber baik itu pengetahuan, keterampilan atau sikap, di dalam dan di luar sekolah yang akan menjadikan peserta didik dapat memikul tugas dan tanggung jawabnya kepada Allah, dirinya sendiri, sesama manusia dan lingkungannya.

Pendidikan harus bertujuan membentuk kepribadian seimbang dikalangan peserta didik melalui latihan rohani (spiritual), intelektual, emosional dan jasmani dengan menunjukkan peserta didik itu kepada berbagai pengalaman pada aspek-aspek pertumbuhan dan perkembangan. Dengan demikian kurikulum harus berdasarkan pada klasifikasi ilmu pengetahuan yakni ilmu-ilmu wahyu (al-Quran) dan ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal dari ayat-ayat kauniyah (alam jagad raya berserta seluruh isinya).

* Penulis adalah dosen FIP dan PascaSarjana UPI. Bidang Keahlian Manajemen dan Administrasi Pendidikan

REFORMASI DAN REFORMASI DAN ISU-ISU PENDIDIKAN DI BEBERAPA NEGARAISU-ISU PENDIDIKAN DI BEBERAPA NEGARA

Oleh. Diding Nurdin, M.Pd

A. Reformasi dan Isu-isu Pendidikan di Amerika Serikat

Sistem pendidikan di Amerika Serikat (AS) banyak dikaji dan menjadi referensi bagi negara-negara lainnya di dunia ini. Bahkan tidak sedikit warga Negara asing mengirim warganya untuk belajar di AS, baik atas biaya pemerintah, maupun dengan tanggungan pribadi/swasta atau melalui program-program beasiswa AS sendiri. Namun tidak berarti AS tidak memiliki masalah yang serius dalam pelaksanaan pendidikannya.

Menurut Syah Nur (2001) ada beberapa masalah yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Amerika Serikat, yaitu:

Pertama, dinamika perubahan sosial masyarakat AS yang terjadi dalam beberapa decade terkhir sangat memperngaruhi pendidikan, mulai dari tingkat prasekolah sampai ke perguruan tinggi. Sebagai hasil emansipasi wanita yang sejak lama diperjuangkan. Hampir semua wanita sudah mendapat pendidikan yang sama dengan pria, dan kebanyakan wanita sudah mendapat tempat yang sangat luas dalam lapangan pekerjaan, baik bagi mereka yang belum berkeluarga maupun yang sudah. Bagi yang berkeluarga dan mempunyai anak, mereka terpaksa meninggalkan anak-anak mereka pada tempat-tempat penitipan anak yang resmi atau baby sisters yang juga berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan di atas. Selanjutnya, bagi anak-anak yang sudah lebih besar, mereka mendapat rumah yang masih kosong karena kedua orang tua mereka masih berada di tempat pekerjaan. Mereka akhirnya bermain sendirian di rumah, atau sebagian mereka bermain dengan teman bermain tetangganya. Proses perkembangan anak dalam keadaan demikian jelas akan berdampak negative, baik ditinjau dari segi perkembangan sosial anak maupun dilihat dari aspek psikis dan emosional. Makin sangat kecil jumlah anak saat ini yang bapaknya sebagai pencari nafkah dan punya ibu yang full-time sebagai pengatur rumah tangga.

Kedua, masyarakat AS saat ini dihadapkan pula pada maslah tingkat penceraian keluarga yang sangat tinggi, mungkin yang tertinggi di antara Negara-negara di dunia. Akibatnya adalah makin banyak anak-anak yang hidup atau tinggal dengan satu orang tua (umumnya dengan ibu), yang mau tidak mau harus bekerja untuk hidup mereka. Banyak ibu-ibu yang berprofesi rendah atau kasar. Ada yang berpenghasilan sedikit di atas garis kemiskinan di atas garis kemiskinan, dan bahkan ada yang harus mendapat bantuan dari pihak pemerintah. Masalah imigran ikut memperberat persoalan karena kebanyakan mereka itu berlatar belakang pendidikan yang minim, dan sulit mendapat pekerjaan, sehingga masalah pendidikan anak-anak mereka sering tak teratasi. Sementara itu, jumlah imigran yang datang ke AS terus bertambah, umunya dari Afrika, Amerika Latin dan Amerika Tengah (Hispanic) dan Asia. Dampak lebh jauh adalah pendidikan bagi anak-anak imigran yang berbeda bahasa dan budayanya di samping lapangan kerja untuk menampung para imigran ini.

Ketiga, sistem pendidikan AS memiliki berbagai badan-badan resmi yang berfungsi sebagai instrumen monitoring dan evaluasi pendidikan. Badan-badan itu antara lain: The National Assessment of Education Progress (NAEP), The Office of Educational Research and Improevement (OERI), The National Center for Educational Statistics (NCES), The Office for Programs for Improvement or Practice (OPIP), dan The Office of Library Program (OLP). Berdasarkan hasil penelitian dan informasi yang dikumpulkan diketahui bahwa kualitas pendidikan AS mengalami kemunduran yang cukup serius, dan hal ini telah menjadi isu yang sangat hangat yang dipublikasikan oleh berbagai media massa semenjak tahun 1980-an. Di antara temuan-temuan ini yang paling sangat besar pengaruhnya adalah yang dilaporkan oleh The National Comission on Execellence in Education yang berjudul “A Nation at Risk”. Laporan ini mengemukakan bahwa pendidikan AS sedang menghadapi krisis yang berat. Laporan yang sama isinya juga diberikan oleh The Twentieth Century Fund Task Force on Federal Education Policy dan oleh The Carnegtie Foundation for The Advancement of Teaching, dan menyimpulkan bahwa AS harus memikirkannya dengan sungguh-sungguh.

Ada laporan yang mengungkapkan rasa kesedihan bahwa hasil yang dicapai oleh siswa-siswa AS sangat mengecewakan dalam perbandingan internasional, terutama dalam ujian mata pelajaran matematika, sains, dan geografi. Laporan lainmmengungkapkan meningkatnya kekerasan dan makinm meningkatnya jumlah anak-anak putus sekolah (drop-outs) di kota-kota berhubungan dengan sistem pendidikan. Oleh karena itu diperlukan reformasi pendidikan yang komprehensif.

B. Isu-Isu Pendidikan di Australia

Australia merupakan Negara yang dipandang sebagai Negara yang memiliki sistem pendidikan yang sudah maju. Kualifikasi guru, dana pendidikan, sarana pendidikan dan partisipasi masyarakat sudah kuat yang dibuktikan dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan pendidikan. Namun bukan berarti tidak menemui masalah penting yang menghadang pendidikan Australia yang tidak mudah dipecahkan dalam waktu yang dekat. Masalah pendidikan yang dihadapi oleh Negara Australia, yaitu:

Pertama, angka partisipasi pendidikan orang dewasa realtif masih rendah, dan ada kerisauan bahwa program-program pendidikan pada tingkat pendidikan menengah tidak memenuhi kebutuhan generasi muda. Keresahan ini semakin terasa dengan tingginya tingkat pengangguran. Usaha-usaha untuk menjawab tantangan ini telah dilakukan antara lain dengan memberikan dukungan yang lebih besar pada program akhir pendidikan menengah yang menawarkan berbagai alternative sebagai persiapan ke pendidikan tinggi, dan di samping itu dilakukan peningkatan dana untuk pemagangan dan program sekolah tinggi TAFE (Technical and Further Education).

Kedua, penurunan jumlah siswa pada beberapa sector pendidikan mengancam hak hidup sejumlah lembaga pendidikan, dan kemungkinan diberlakukannya oleh pihak berwenang program rasionalisasi di bidang kepegawaian. Sunguhpun ini umumnya menyangkut pada lemabaga CAE (Colleges of Advanced Education) yang menyelenggarakan pendidikan guru, tetapi lembaga-lembaga pendidikan lainnya juga akan mengalami nasib serupa dan terancam penutupan dalam beberapa tahun mendatang.

Ketiga, pertumbuhan yang cepat dalam sector pendidikan semenjak tahun 1950 telah menimbulkan masalah dalam membuat perencanaan dan koordinasi yang efektif. Pada beberapa Negara bagian, keadaan ini menyebabkan berkembangnya badan-badan koordinasi serta penstrukturan kembali manajemen departemen pendidikan Negara bagian.

Keempat, diperlukan kurikulum yang mampu mengembangkan generasi muda sehingga mereka dapat menciptakan hidup yang efektif dan menyenangkan di masa depan. Kebutuhan ini sejalan pula dengankebutuhan untuk menyusun struktur dan kebijakan yang memperluas kesempatan belajar kembali bagi anggota masyarakat yang menginginkan kembali bangku sekolah atau kembali ke kampus.

Kelima, pencarian sumber dana untuk mendukung pengembangan pendidikan pada tingkat menengah dan pendidikan tinggi masih masih tetap menjadi maslah pemerintah. Sejak awal tahun 1990-an perguruan tinggi Australia telah dibanjiri mahasiswa sehingga kelas menjadi penuh dan bahkan ada mahasiswa yang berdesak-desakan dalam satu ruang kuliah. Keadaan ini menyebabkan terjadinya kekurangan staf pengajar pada bidang-bidang ilmu yang sangat pokok. Di samping itu, staf akademik memerlukan ilmu dan keterangan baru agar mampu membantu mahasiswa dalam mengantisipasi berbagai perubahan. Sementara itu, peningkatan imbalan staf akademik pendidikan tinggi kelihatannya juga menjadi masalah dalam tahun-tahun mendatang.

Keenam, masalah perimbangan penyediaan dana antara pemerintah Commonwealth dan Negara biasanya menjadi persoalan politik yang selalu hangat, dan kelihatannya hal ini akan tetap demikian untuk tahun-tahun mendatang.

C. Reformasi dan Isu-Isu Pendidikan di Negara RRC

Semenjak tahun 1980-an, pemerintah Cina telah melakukan serangkaian pembaharuan pendidikan yang cukup efektif. Reformasi ini mencakup berbagai aspek sebagai berikut:

1. Penyesuaian struktur pendidikan

Pada tahun 1980, pendidikan menengah di Cina terdiri dari sekolah menengah umum, dan proporsi jumlah siswa pada sekolah teknik dan kejuruan lainnya hanya 19% dari seluruh siswa sekolah menengah. Setelah perubahan struktur, proporsi ini meningkat menjadi 46% pada tahun 1990. Perubahan juga dilakukan pada struktur pendidikan tinggi. Dalam penstrukturan mata kuliah, bidang-bidang yang paling banyak diminati masyarakat berkembang dengan cepat. Antara tahun 1978 dan 1990, jumlah mahasiswa purna waktu dalam bidang keuangan dan ekonomi, politik dan hukum, serta “liberal arts” naik secara berturut-turut 12,32 dan 2,2 kali lipat. Sejumlah besar bidang keilmuan baru dikembangkan. Berkenaan dengan struktur dan level program, pengembangan program-program makin dipercepat. Pada tahun 1990, jumlah lembaga program diploma mencapai 455 buah, yang berarti 42,6% dari seluruh lembaga pendidikan tinggi dengan jumlah mahasiswa 743.000, yaitu 36% dari total mahasiswa pendidikan tinggi Cina.

2. Perubahan dalam sistem manajemen

Sistem baru desentralisai diberlakukan dengan memberikan tanggung jawab kepada pejabat-pejabat daerah mengenai pendidikan. Dalam hal pengadaan pendidikan yang selama ini pemerintah memegang tanggung jawab penuh, sekarang dikurangi dan tanggung jawab oleh perusahaan-perusahaan dan masyarakat berkembang dengan pesat. Disamping itu, tingkat otonomi institusi juga meningkat. Perubahan ini dipandang sebagai suatu sukses besar terutama di daerah-daerah pedesaan atau pedalaman. Pada awal 1990-an, diusahakan pula memperbaiki sistem control makro dan internal institusi.

3. Reformasi komprehensif pendidikan

Semenjak tahun 1987, SEDC memulai pilot project pada 15 kotamadya dan 116 kabupaten . isi pokok dalam reformsi ini adalah: (a) meningkatkan koordinasi ekonomi, sains dan teknologi, pendidikan dalam semua tingkat dan jenis oleh pemerintah; (b) mengubah sistem penerimaan dan sistem penugasan pekerjaan pada sekolah menengah, dan menyesuaikannya dengan sistem kepegawaian; (c) memperbaiki struktur keseluruhan pendidikan di perkotaan; dan (d) meningkatkan diversifikasi pendidikan menengah atas. Isi pokok eformasi pendidikan di daerah pedesaan atau pedalaman mencakup; koodinasi dan integrasi menyeluruh dalam bidang pertanian, sains dan teknologi, dan pendidikan dan manajemen BE (basic education), TAVE (technical and vocational education), dan AE (adult education), sehingga mampu memfasilitasi pembangunan sosio-ekonomi dan pendidikan.

Masalah utama yang dihadapi pendidikan Cina dalam tahun 2000 ini antara lain tingkat irasionalitas dalam struktur pendidikan, misalnya TAVE belum dikembangkan secara baik; investasi yang tidak mencukupi dalam pendidikan dan sekolah-sekolah yang dalam kondisi masih memprihatinkan; prinsip-prinsip pendidikan, isi, dan metodologi masih jauh dari realita sosial’ dan efisiensi sistem belum ideal. Jadi, secara umum sistem pendidikan di Cina belum lagi mampu disesuaikan dengan program pembangunan sosialis nasionalis.

Pemerintah Cina telah menyusun Program Pembangunan Pendidikan 10 tahun dan Perencanaan Pendidikan 5 tahun. Dengan program dan perencanaan ini, diantisipasi bahwa pada akhir abad 20 atau pada awal abad baru struktur pendidikan Cina akan lebih rasional, kualitas pendidikan akan meningkat cukup signifikan, dan personil pendidikan akan lebih profeional. Dengan demikian, sistem pendidikan akan mampu memenuhi tuntutan pembangunan sosio-ekonomi masyarakat bangsa.

D. Isu-isu Pendidikan di Jepang

Terdapat beberapa masalah dan tantangan dalam pendidikan di Jepang, satu diantaranya adalah populai sekolah yang terus meningkat jumlahnya terutama diperkotaan ditambah pula dengan gelombang anak muda yang cenderung berpindah ke kota. Ini berarti bahwa jumlah sekolah diperkotaan meningkat, terutama sekolah-sekolah menengah tingkat atas harus ditambah, sementara sekolah-sekolah di luar kota kehilangan populsinya. Peningkatan populsi sekolah, ditambah lagi dengan peningkatan teknologi di daerah-daerah perluasan industri nsional, yang cenderung semakin canggih, menyebabkan makin perlunya meningkatkan populasi perguruan tinggi. Deskan ini didukung dengan kekayaan masyarakat dan antusiasme orang-orang pendidikan. Pada tahun 1980-an, rasio populasi pendidikan tinggi adalah sekitar 39%, dan diantisipasi akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Hal ini sangat didorong oleh kebutuhan pasar kerja atas tenaga yang berkualifikasi lebih tinggi sebagai dampak kemajuan teknologi.

Kemajuan iptek serta pergeseran distribusi tenaga di sector pasar kerja selanjutnya menuntut pendidikan tinggi mengubah tekanan atau prioritas program-program studi yang ada, dan juga harus dihayati pula di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Bukannya pengajaran yang didasarkan pada ilmu pengetahuan (knowledge-based instruction) yang diutamakan, tetapi tekanan harus pada kreativitas dan pengembangan karakter setiap anak. Muncul di kalangan masyarakat Jepang keyakinan bahwa sistem pendidikan saat ini mengandung dua kelemahan yang sangat berbahaya.

Masyarakat mempersepsikan kaum muda Jepang sebagai kekurangan dalam ilmu dan keterampilan, dan lebih berbahaya lagi, tidak punya sikap yang baik dan tepat terhadap hidup dan kehidupan. Berbagai indicator menunjukkan bahwa tidak kelihatan usaha, baik dari keluarga maupun sekolah yang secara sungguh-sungguh memberikan perhatian terhadap anak-anak tentang bagaimana sikap hidup yang cocok dan benar. Indicator-indikator itu antara lain:kurangnya respek mereka terhadap orang tua; meningkatnya individualisme dan tingkah laku yang memperlihatkan sifat keras kepala; sikap kurang ajar, tak bisa ditebak; menurutnya kekuatan fisik dan kebugaran; sikap kurang partisipatif terhadap masalah-masalah masyarakat; dan meningkatnya kenakalan remaja.

Maka jelaslah bahwa memperbaiki mutu atau kualitas sistem pendidikan sekolah, memperbanyak dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi, serta mendiversifikasi kesempatan pendidikan didalam atau diluar sistem sekolah formal merupakan tugas pokok yang harus diselesaikan oleh masyarakat Jepang.

E. Reformasi dan Isu-isu Pendidikan di Korea Selatan

Menurut Hyung Jin Yoo (1988) dalam tulisannya pada International Encyclopedia of Education bahwa berbagai masalah dan tantangan pendidikan di Republik Korea Selatan perlu ditangani dengan investasi pendidikan pada bidang teknik melalui peningkatan kerja sama anatara sekolah dengan industri; memperkecil jurang pemisah antara perkembangan penduduk kota dan penduduk desa; dan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pendidikan sosial dan pendidikan moral.

Selanjutnya Se-ho Shin (1995) menambahkan bahwa reformasi pendidikan yang dilakukan pada tahun 1980’s dan 1995 telah menambahkan pada konstitusi beberapa ketentuan dan arahan yang sangat mendasar antara lain sebagai berikut:

I. Pendidikan sepanjang hayat (lifelong education);

II. Pendidikan manusia seutuhnya (the whole person) dijadikan tujuan pendidikan; pendidikan juga ditujukan untuk menyempurnakan kepribadian dan tingkah laku, serta penekanan pada pengembangan pandangan manusia tentang masa depan; pendidikan moral juga mendapat tempat dan penekanan yang lebih besar;

III. Penghapuan ujian-ujian masuk yang dilakukan oleh masing-masing perguruan tinggi atau universitas; penghapusan ini adalah sebagai akibat makin menjamurnya kurus-kursus privat yang sangat membebani masyarakat; kursus-kursus ini timbul dan berkembang disebabkan kompetisi yang sangat kuat untuk masuk ke perguruan tinggi; sukses pendidikan di sekolah menengah perlu lebih diutamakan dan ditingkatkan; bentuk ujian masuk baru diperkenalkan dalam tahun 1994;

IV. Sistem penerimaan mahasiswa berdasarkan kuota untuk semua jenis perguruan tinggi dikembangkan sehingga apa yang dinamakan “examination hell” atau “neraka ujian” bisa hilang;

V. Sekolah/akademi pendidikan guru ditingkatkan statusnya menjadi program perguruan tinggi 4 tahun;

VI. Pajak pendidikan diciptakan untuk mendukung implementasi reformasi pendidikan

VII. Guru-guru diberikan insentif tambahan untuk lebihmeningkatkan kesejahteraan mereka;

VIII. Pemerintah beserta jawatan-jawatan lainnya diminta mengubah sistem dan criteria penerimaan pegawainya;

IX. Sistem manajemen pendidikan diubah dalam tahun 1990-an sehingga lembaga-lembaga sekolah menjadi lebih punya otonomi; dengan demikian sekolah dan universitas punya kekuasaan untuk memutuskan sendiri maslah-maslah yang mereka hadapi;

X. Fasilitas universitas diperluas dan diperbaharui untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Walaupun sudah dilakukan berbagai reformasi seperti disebutkan di atas, She-ho Shin masih melihat berbagai tantangan yang harus dihadapi pendidikan Korea dalam tahun 2000. Pertama, sistem pendidikan saat ini tidak atau belum mempertimbangkan secara baik siswa-siswa yang sebagian besar tidak dalam jalur melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka tidak siap dan tidak dipersiapkan secukupnya untuk masuk ke pasar kerja. Hal ini dapat berakibat pada naiknya tingkat pengangguran, atau rendahnya mutu kerja sehingga kompetisi global dalam berbagai aspek akan semakin ketat.

Kedua, kompetisi masuk perguruan tinggi yang selama ini berlangsung secara hebat, telah mendorong berjangkitnya dengan luas “penyakit diploma”. She-ho Shin menilai bahwa pendidikan telah gagal menanamkan dan membina kepribadian sehingga hilangnya nilai-nilai dan semangat kerja sama dan rasa persaudaraan. Ketiga, kurikulum pendidikan masih belum mampu menyediakan program-program untuk menampung siswa yang berbeda kemampuan, dan interest, serta mengabaikan pentingnya kerja-kerja praktek seperti observasi lapangan dan kerja labolatorium. Hal ini dipersulit pula oleh kelas yang sangat besar (sekolah dasar: 50 orang, sekolah menengah pertama: 53, sekolah menengah atas:55,1) sehingga pengajaran tidak efektif untuk mampu memperhatikan perbedaan-perbedaan individual setiap anak. Dengan kelas-kelas yang begitu besar, bukan hanya tidak mungkin efektif, tetapi beban mengajar guru dan beban administrasinya pun juga menjadi sangat berat. Keempat, kurangnya fasilitas pendidikan bagi anak-anak cacat (handicapped) dari berbagai jenis juga merupakan isu pendidikan semakin mendesak, di samping pelayanan program-program pendidikan bagi anak yang berkemampuan akademik luar biasa (gifted) yang selama ini mereka telah dikorbankan karena tidak mendapat kmengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Akhirnya, Se-ho Shin menambahkan bahwa di tingkat pendidikan tinggi, kurangnya standar untuk mengukur mutu pendidikan, dan ketidakmampuannya perguruan tinggi Korea menarik dosen-dosen international untuk menjadi staf pengajar yang mungkin dapat mendorong peningkatan prestasi dan prestise.

Daftar Pustaka

Altbach, Philip G. (Ed). (1991). International Higher Education: An Encyclopedia. New York: Garland.

American Council on Education (1999). An International Visitor’s Guide to Higher Education in the United States. Washington, D.C.: ACE Fulfilment Service.

Goedegebuure, Leo et al. (1994). Higher Education: An International Comparative Perspektive. Paris: Pergamon Press.

Meek, Lynn (1994). Higher Education Policy in Australia”. In Goedegebuure, Leo et al. (1994), Higher Education Policy: An International Comparative. Paris: Pergamon Press.

Syah Nur, Agustiar. (2000). Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Bandung: Lubuk Agung.

Thomas, R. Murray (1990). International Comparative Education: Practice, Issues, and Prospects. New Yo